Oleh: Taufik S. Permana (Geopolitical Institute)
BERGERAKNEWS
| Kabar Nasional - Teman-teman, hari ini dollar menguat,
rupiah melemah. Lalu dicari-cari alasan dan kambing hitam, diantaranya: neraca
perdagangan deficit, kinerja perdagangan tidak optimal, Adanya yield spread
antara US Treasury atau surat berharga pemerintah AS dan Surat Berharga Negara
tenor 10 tahun yang semakin lebar juga turut berpengaruh pada melemahnya
rupiah, termasuk infrastruktur sistem perbankan yang kurang memadai ditambah
perang dagang yang disinyalir memperburuk kondisi keuangan global.
Teman-teman, kami
katakan, pilar penting faktor lemahnya rupiah dan terjadinya berbagai krisis
ekonomi termasuk krisis moneter yang selalu berulang di Indonesia dan juga
kawasan Asia, bahkan juga di negara-negara Eropa dan Amerika, sebenarnya
disebabkan adanya faktor internal-substansial dari sistem ekonomi kapitalis
yang diterapkan di dunia saat ini.
Sistem ekonomi
kapitalis ini dirancang sedemikian rupa oleh Negara-negara Barat dengan tujuan
untuk mempertahankan hegemoninya terhadap negara-negara berkembang. Di antara
prinsip dan pola sistem kapitalis yang menyebabkan terjadinya krisis ini
adalah: Sistem perbankan dengan suku bunga; berkembangnya sektor non riil;
utang luar negeri yang menjadi tumpuan pembiayaan pembangunan; penggunaan
sistem moneter yang tidak disandarkan pada emas dan perak; dan liberalisasi
atau swastanisasi sumberdaya alam.
Teman-teman,
praktek ribawi, sejak masa Yunani Kuno, sebenarnya tidak disukai dan dikecam
habis-habisan. Aristoteles mengutuk sistem pembungaan ini dengan mengatakan
riba sebagai ayam betina yang mandul dan tidak bisa bertelur. Begitu juga
ekonom modern, misalnya J.M. Keyness, mengkritik habis-habisan teori klasik
mengenai bunga uang ini. Keynes beranggapan, perkembangan modal tertahan oleh
adanya suku bunga uang. Jika saja hambatan ini dihilangkan, lanjut keynes, maka
pertumbuhan modal di dunia modern akan berkembang cepat. Hal ini memerlukan
kebijakan yang mengatur agar suku bunga uang sama dengan nol.
di sektor non riil
diperdagangkan mata uang dan surat berharga termasuk surat utang, saham, dan
lainnya. Sektor ini terus membesar dan segala transaksinya tidak berpengaruh
langsung pada sektor riil (sektor barang dan jasa). Pertumbuhan yang ditopang
sektor ini akhirnya menjadi pertumbuhan semu. Secara angka ekonomi tumbuh tapi
tidak berdampak pada perekonomian secara riil dan perbaikan taraf ekonomi
masyarakat.
Transaksi di
sektor keuangan ini lebih banyak ditujukan untuk mendapat keuntungan yang besar
secara cepat dari selisih harga valuta dan surat berharga. Makin besar selisih
makin besar pula keuntungan yang didapat. Untuk itu tak jarang para pelaku
sektor ini merekayasa pasar modal. Saat ini transaksi yang terjadi di pasar
finansial sekitar Rp. 6,7 Trilyun per hari dan 60 % masih dikuasai asing. Jika
investasi di luar negeri lebih menarik, dalam waktu singkat bisa terjadi aliran
modal ke luar negeri (capital outflow) yang bisa menyebabkan melemahnya nilai
rupiah. Dan itulah di antaranya yang terjadi akhri-akhir ini.
Sementara itu,
utang luar negeri oleh para penjajah dijadikan sebagai salah satu alat
penjajahan baru. Dengan utang, negara-negara berkembang terjebak dalam
perangkap utang atau Debt Trape. Mereka terus dieksploitasi dan kebijakannya dikendalikan.
Nyatanya, total utang negeri ini tidak pernah berkurang, bahkan terus meningkat
hingga lebih dari 5000 triliun rupiah pada saat ini. Semua itu diperparah oleh
sistem moneter yang diterapkan di seluruh dunia saat ini yang tidak disandarkan
pada emas dan perak. Uang akhirnya tidak memiliki nilai instrinsik yang bisa
menjaga nilainya. Nilai nominal yang tertera ternyata sangat jauh berbeda
dengan nilai intrinsiknya. Ketika terjadi penambahan uang baru melalui
pencetakan uang baru atau penambahan total nominal uang melalui sistem bunga
dan reserve banking, maka total nominal uang dan jumlah uang yang beredar
bertambah lebih banyak, tak sebanding dengan pertambahan jumlah barang.
Akibatnya, nilai mata uang turun dan terjadilah inflasi.
Teman-teman, kita
melihat rezim ini masih mempertahankan liberalisasi ekonomi. Liberalisasi
ekonomi, selain berarti menghilangkan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam
sektor ekonomi, juga berarti menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme
pasar (kekuatan penawaran dan permintaan). Liberalisasi ini sekaligus akan
merobohkan hambatan perdagangan internasional dan investasi. Perjanjian
perdagangan bebas seperti CAFTA, MEA merupakan bentuk pengkhianatan terhadap
rakyat. Padahal Pemerintah seharusnya melindungi rakyat dari ketidakberdayaan
ekonomi. Dengan perjanjian tersebut, sengaja atau tidak, Pemerintah telah
membahayakan bahkan “membunuh” usaha dan industri dalam negeri baik skala besar
apalagi skala kecil, yang tentu akan mengakibatkan makin meningkatnya angka
pengangguran. Karena itu, Indonesia mutlak harus keluar dari perjanjian-perjanjian
merusak dan segala bentuk perjanjian perdagangan bebas yang nyata-nyata
membahayakan rakyat dan negara.
Sesungguhnya Islam
telah menawarkan kepada umat sistem ekonomi yang dapat membangun kemandirian
negara sekaligus menjamin berkembangnya industri-industri dalam negeri serta
sektor ekonomi lainnya. Sistem Ekonomi Islam mengatur kepemilikan individu,
kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Kewajiban negara adalah memastikan
tersedianya bahan baku, energi, modal dan pembinaan terhadap pelaku ekonomi
rakyatnya. Negara juga wajib mengatur ekspor dan impor barang sehingga
betul-betul bisa mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Eskpor bahan
mentah, misalnya, seharusnya dibatasi. Sebaliknya, ekspor barang-barang hasil
pengolahan yang lebih memiliki nilai tambah harus terus ditingkatkan selama
telah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebaliknya, impor barang-barang yang
bisa mengancam industri dalam negeri harus dibatasi. Impor seharusnya hanya
terbatas pada barang-barang yang bisa memperkuat industri di dalam negeri.
Semua itu dilakukan antara lain dalam melindungi berbagai kepentingan
masyarakat. Sebab, kewajiban negaralah untuk menjadi pelindung bagi rakyatnya. [bhs]
Tidak ada komentar
Posting Komentar